Langsung ke konten utama

Guru Pembawa Amal Jariyyah atau Dosa Jariyyah?

بسم اﷲ,
Kita tahu bahwa guru melahirkan profesi-profesi lainnya. Dalam dunia pendidikan formal, guru menjadi suatu sumber daya manusia yang sangat dibutuhkan.
Katanya, menjadi guru bisa mendapatkan amal jariyyah, benarkah?

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثَةٍ : إِلا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1) sedekah jariyah, (2) ilmu yang diambil manfaatnya, (3) anak shalih yang selalu didoakan orang tuanya.” (HR. Muslim)

Yang dimaksud dalam hadits adalah tiga amalan yang tidak terputus pahalanya:
  1. Sedekah jariyah, seperti membangun masjid, menggali sumur, mencetak buku yang bermanfaat serta berbagai macam wakaf yang dimanfaatkan dalam ibadah.
  2. Ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu syar’i (ilmu agama) yang ia ajarkan pada orang lain dan mereka terus amalkan, atau ia menulis buku agama yang bermanfaat dan terus dimanfaatkan setelah ia meninggal dunia.
  3. Anak yang sholeh karena anak sholeh itu hasil dari kerja keras orang tuanya. Oleh karena itu, Islam amat mendorong seseorang untuk memperhatikan pendidikan anak-anak mereka dalam hal agama, sehingga nantinya anak tersebut tumbuh menjadi anak sholeh. Lalu anak tersebut menjadi sebab, yaitu ortunya masih mendapatkan pahala meskipun ortunya sudah meninggal dunia.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

“Sesungguhnya yang didapati oleh orang yang beriman dari amalan dan kebaikan yang ia lakukan setelah ia mati adalah:
  1. Ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan.
  2. Anak shalih yang ia tinggalkan.
  3. Mushaf Al-Qur’an yang ia wariskan.
  4. Masjid yang ia bangun.
  5. Rumah bagi ibnu sabil (musafir yang terputus perjalanan) yang ia bangun
  6. Sungai yang ia alirkan.
  7. Sedekah yang ia keluarkan dari harta ketika ia sehat dan hidup.
Semua itu akan dikaitkan dengannya setelah ia mati.” (HR. Ibnu Majah, no. 242; Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan dihasankan oleh Al-Mundziri. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
(https://rumaysho.com/14488-7-amal-jariyah.html)

ilmu yang diajarkan mendapatkan posisi pertama, maka sudah selayaknya menjadi guru bukanlah hal mudah, jika ia menyebarkan ilmu yang benar, maka akan bermanfaatlah bagi dirinya dan orang lain, namun takkala salah satu ketakutan menjadi guru adalah salah memberikan ilmu.

Misalkan sebagai guru dalam ranah pendidikan sosial, ambil contoh mata pelajaran Bahasa Indonesia, salah satu ilmu yang tidak pasti. Bahasa tentunya sangat diperlukan oleh manusia, ada pepatah yang mengatakan, bahwa seseorang itu bisa dilihat dari bahasanya. Dalam kajian mempelajari bahasa, salah satunya adalah dalam penyampaian ilmu, bahasa mengajarkan bagaimana agar ilmu yang disampaikan tidak mengalami distorsi, sehingga butuhnya mempelajari kalimat efektif, kalimat yang tidak boros, tanda baca serta ejaan, ada pun cara menulis karya ilmiah, memahami tanda, simbol, dan makna. Namun, yg menjadi dilema para guru ini adalah, ketika mereka harus mengajarkan kebohongan, seperti drama dan cerita prosa fiksi, dimana pada akhir pembelajaran anak harus mampu memproduksi sebuah karya. 

Pada guru agama, tentu ini sangat baik dan berguna, namun ini perlu berhati-hati, jangan sampai salah mengajarkan akidah dan tawakal. Jangan sampai yang sunnah dihilangkan, yg bukan sunnah di ada-adakan, apa lagi sampai membuat paham-paham baru.

Banyak hal lainnya, tentulah menjadi seorang guru bukan hanya persoalan jabatan dan gaji, namun ada banyak kepala kepala manusia yang harus kau tanggung jawab. Jika dia menjadi amal jariyyah, sungguh ini membahagiakan bukan, namun bagaimana jika ini menjadi dosa jariyyah,  ketika kau mengajarkan yang tidak diperbolehkan oleh agama, atau kau salah menyampaikan ilmu yang dapat memengaruhi akidah, atau para guru yang ketika dalam jam pelajarannya membiarkan bahkan memberi tontonan yang tidak baik, seperti drama yang tidak terdapat faedahnya, terlebih-lebih lagi jika ada musiknya, yang mengizinkan anak didiknya melakukan suatu hal yang salah, au'dzubillah min zalik. Maka berhati hatilah, peran guru sangatlah memengaruhi.

Untuk solusi ilustrasi di atas adalah, lembaga mendukung apa yg harusnya diajarkan dan yang tidak, atau mencari lembaga yang pembelajarannya merujuk ke Quran dan Sunnah. Lembaga terus mensosialisasikan peran guru dan keprofesionalannya.

Allahu a'lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekolah agar menjadi manusia berilmu?

السلام عليكم بسم ﷲ ارحمنرحيم Pernah kepikiran sekolah untuk apa? Katanya sih untuk mendidik anak-anak bangsa, biar berilmu dan memiliki akhlak yg mulia. Ya, tapi apakah kita sebagai orang tua dan guru benar telah menerapkan itu kepada anaknya? Saya tidak mengatakan mereka yg benar-benar ingin mendidik anaknya, namun realitanya pada beberapa orang tua dan kebanyakan menginginkan anaknya dapat nilai tinggi, oke kita terima, karena mungkin sebagai pembuktian bahwa dia memiliki ilmu, namun bagaimana dengan kata-kata "ah biarlah, yg penting dia sekolah dan lulus, bisa kerja?". Ada hal yg miris pernah saya dapat kan dari ucapan siswa SMA tempat saya mengajar Bimbel. Jadi mereka meminta saya untuk membantu mereka menjawab pertanyaan ketika ujian sekolah nanti, lalu saya jawab, kalo kalian ujian masih minta saya yang kerjakan, lalu apa fungsi kalian les di sini? Apa fungsi kita bahas soal-soal, nilai itu tidak begitu penting, tapi seberapa kamu punya ilmu, sebab itu kalian bela...